Press Releases

Studi Multinegara Baru Menelusuri Perilaku Pembelian dan Kompas Moral Gen Z: Masyarakat Indonesia Mengedepankan Pendapatan daripada Moral dalam Mempertimbangkan Barang Asli vs Tiruan

Published: May 16, 2019

New York, New York—16 Mei 2019—International Trademark Association (INTA) hari ini merilis studi penelitian komprehensif yang menelusuri perilaku Gen Z—kelompok konsumen terbesar dunia pada 2020—mengenai hubungan mereka dengan merek dan sikap mereka terhadap produk tiruan di 10 negara, termasuk Indonesia. Studi ini secara unik menelusuri melalui sudut pandang moral dan praktis yang mendorong Gen Z untuk membeli barang asli atau palsu, serta membantu pemilik merek memetakan cara berkomunikasi dengan khalayak berusia 18 hingga 23 tahun.

Di antara temuan utama studi ini, yang berjudul “Wawasan Gen Z: Merek dan Produk Tiruan,” dua faktor utama yang memengaruhi opini seputar produk palsu adalah moral dan pendapatan. Di Indonesia, pendapatan mengalahkan moral sebesar 14 persen, sedikit melampaui rata-rata global sebesar 10 persen.

“Gen Z kerap menggunakan sudut pandang moralitas situasional atas keputusan pembeliannya, sehingga pertimbangan praktis mungkin menggantikan cita-cita moral,” ujar studi tersebut.

Terlebih lagi, Indonesia menduduki peringkat keempat terbesar dari Gen Z yang pernah membeli produk tiruan pada tahun sebelum studi dilakukan—dengan angka responden sebesar 87 persen, dibandingkan dengan rata-rata global sebesar 79 persen. Berita bagusnya, menurut temuan ini, perubahan sudah mulai terlihat.

Studi kepribadian Gen Z dilakukan dengan dua latar belakang global yang kuat. Pertama, kemunculan Gen Z sebagai kelompok demografis terbesar, sehingga pemilik merek harus memahami hal ini. Kedua, penyebaran barang tiruan, dengan perdagangan produk tiruan dan bajakan berskala internasional, termasuk pembajakan digital, yang diperkirakan akan meroket hingga $2,81 triliun pada 2022, menurut studi yang dipublikasikan pada 2017 oleh INTA dan International Chamber of Commerce-BASCAP.

INTA memfokuskan studi Wawasan Gen Z kepada mereka yang lahir antara 1995 hingga 2000. Penelitian ini terdiri atas diskusi virtual kualitatif dengan 30 Gen Z dari empat negara pada Agustus dan September 2018, diikuti dengan survei kuantitatif online pada November 2018 terhadap lebih dari 4.500 Gen Z dari 10 negara: Argentina, Tiongkok, India, Indonesia, Italia, Jepang, Meksiko, Nigeria, Rusia, dan Amerika Serikat. Sejumlah faktor dipertimbangkan saat memilih negara tersebut, termasuk ukuran populasi Gen Z, tingkat distribusi barang tiruan, dan tingkat perkembangan ekonomi negara tersebut.

Penelitian ini mengidentifikasi tiga karakteristik utama serta sikap Gen Z terhadap merek dan produk tiruan: individualitas, moralitas, dan fleksibilitas. 

Di Indonesia, 93 persen Gen Z menyebutkan bahwa mereka harus selalu mengenal jati diri mereka, dan 88 persen memiliki kode moralnya sendiri. Mengenai sikap mereka terhadap merek, 90 persen meyakini merek harus berusaha berbuat kebaikan di dunia, dan 73 persen berpendapat nama merek tidak terlalu penting dibandingkan dengan bagaimana produk tersebut memenuhi kebutuhan mereka.

Studi ini juga menemukan bahwa 96 persen Gen Z sangat menghormati gagasan dan kreasi orang lain; dan 78 persen Gen Z setidaknya cukup mengetahui tentang hak kekayaan intelektual, yang lebih rendah daripada rata-rata global sebesar 85 persen.

Di seluruh negara, “manfaat fungsional, seperti harga dan aksesibilitas, menjadi alasan utama pembelian produk palsu oleh Gen Z”, menurut studi ini. Di Indonesia, meskipun 83 persen responden berpendapat penting membeli produk asli, manfaat fungsional utamanya adalah: 73 persen menyebutkan produk palsu lebih mudah/lebih gampang dijumpai daripada produk asli, 66 persen mengungkapkan keuntungan moneter yang diperoleh penjual untuk menghidupi diri mereka, sementara 53 persen mengatakan “tidak akan ada yang tahu jika saya mengenakan produk palsu.” Selain itu, 53 persen responden merasa tidak mampu memenuhi gaya hidup yang mereka inginkan.

Kabar baiknya, di Indonesia, 95 persen responden yang mengikuti survei menyatakan terbuka untuk mengubah pandangan berdasarkan hal-hal baru yang mereka pelajari.

“Terbuka pintu untuk mengubah pola pikir dan kebiasaan berbelanja kelompok konsumen penting ini. Studi Wawasan Gen Z ini memberi tahu pemilik merek bahwa mereka perlu memperhatikan dan menyesuaikan strategi pemasarannya,” ujar Presiden INTA, David Lossignol, Kepala Merek Dagang, Nama Domain, dan Hak Cipta di Novartis Pharma AG Swiss.

“Kita semua harus memanfaatkan peluang ini melalui pendidikan. Kita perlu menyampaikan pesan bahwa, selain berbahaya, produk tiruan juga tidak dapat diterima secara sosial,” tegasnya.

Sebagai tanggapan atas temuan ini, dan sebagai bagian dari sasaran pendidikan yang lebih menyeluruh, INTA mengumumkan langkahnya untuk memperluas jangkauan Unreal Campaign—yang mendidik konsumen muda di seluruh dunia tentang nilai merek dagang dan merek serta bahaya produk tiruan—dari usia 14 sampai 18 tahun, hingga 23 tahun. Kampanye ini mencakup presentasi pendidikan di sekolah—sejauh ini, di 38 negara—dan pesan di media sosial.

Di Indonesia, pembeli produk tiruan mengatakan akan mengubah perilakunya jika menemukan produk palsu berbahaya atau buruk bagi kesehatan (75%), jika uang yang dihabiskan untuk membeli produk digunakan untuk mendanai organisasi kejahatan (75%), dan jika membeli produk palsu berarti mereka harus membayar denda (75%).

Ke depannya, 72 persen Gen Z di Indonesia berharap membeli lebih sedikit produk tiruan —menandai posisi persentase tertinggi kedua konsumen dengan keyakinan tersebut di 10 negara. Faktor pendorongnya adalah keinginan membeli barang dengan kualitas yang lebih baik (74%), kemampuan untuk membeli produk asli (35%), serta pengakuan bahwa membeli barang asli merupakan “hal yang seharusnya dilakukan” (29%).

“Fakta bahwa Gen Z melihat identitas mereka sebagai ‘hal yang terus tumbuh’ merupakan hal baik dalam pemberantasan produk tiruan,” ungkap Lossignol. “Seiring bertambahnya usia Gen Z, kedewasaan, keterjangkauan, harapan akan kualitas, serta kesadaran yang lebih besar atas dampak buruk produk tiruan terhadap masyarakat akan muncul dan mengubah perilaku pembelian mereka.”

INTA bekerja sama dengan Insight Strategy Group, LLC, sebuah firma riset pasar yang berkantor di New York, melakukan studi ini. Studi lengkap dan laporan sesuai negara tersedia di www.inta.org/impactstudies.

Tentang International Trademark Association (INTA)

International Trademark Association (INTA) adalah asosiasi global pemilik merek dan tenaga profesional yang bertekad mendukung merek dagang serta kekayaan intelektual (intellectual property IP) terkait guna mendorong kepercayaan konsumen, pertumbuhan ekonomi, dan inovasi. Anggotanya meliputi lebih dari 7.200 pemilik merek, tenaga profesional, dan akademisi dari 191 negara, yang memetik keuntungan dari sumber daya merek dagang global, pengembangan kebijakan, pendidikan dan pelatihan, serta jaringan internasional Asosiasi ini. Didirikan pada 1878, INTA berkantor pusat di New York City, dengan kantor yang berlokasi di Brussels, Santiago, Shanghai, Singapura, dan Washington D.C., serta perwakilannya di Jenewa dan New Delhi. Untuk informasi selengkapnya, kunjungilah www.inta.org.